Belakangan
ada segelintir fatwa yang ganjil dari golongan wahabi yang mengatakan bahwa
imsak adalah bid’ah (sesat). Seperti fatwa yang dikeluarkan oleh Syekh pujaan
mereka, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang salah satunya mengatakan
sebagaimana berikut:
: هذا من البدع،
وليس له أصل من السنة، بل السنة على خلافه
لأن الله قال في كتابه
العزيز: وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ
مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى
الَّيْلِ وَلاَ تُباشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ
حُدُودُ اللَّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذالِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
.
“Hal
ini (imsak) TERMASUK
BID’AH,
tiada dalilnya dari sunnah, bahkan sunnah bertentangan dengannya, karena Allah
berfirman di dalam kitabnya yang mulia.”
Imsak
yang dilakukan oleh sebagian orang itu adalah suatu tambahan dari apa yang
diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga menjadi kebatilan, dia
termasuk PERBUATAN
YANG DIADA-ADAKAN
dalam agama Allah padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Artinya : Celakalah orang yang mengada-adakan! Celakalah orang yang
mengada-adakan ! Celakalah orang yang mengada-adakan ! “
Begitulah
alasan mereka golongan pembid’ah. Sepertinya yang membid’akan imsak itu hanya
kelompok yang pekerjaannya mencari bid’ah, bukan pencari sunnah.
Fatwa
ini banyak mempengaruhi Wahabi/Salafi di Indonesia untuk ikut menyebarkan faham
dalam tulisan mereka dengan redaksi “waktu imsak sebelum waktu shubuh sebagai
perbuatan bid’ah” dan
juga “menyelisihi
sunnah dan membuat bid’ah dalam agama”. Alasannya karena “tidak ada dalilnya” , “berlebih-lebihan
dalam agama” dll..
Alasan-alasan seperti itu sebenarnya tidak terlalu mengherankan, karena di
dalam kurikulum wahabi/salafi yang mereka ajarkan tidak jauh daripada
seputar bid’ah, sesat, kafir yang menyebabkan umat keluar dari islam dalam
persepsi mereka atau setidak-tidaknya menimbulkan fitnah dan keresahan.
Konklusi
sederhana fatwa tersebut adalah:
Imsak
-> tidak ada di zaman Rasul dan Sahabat -> diada-adakan-> bid`ah
-> sesat-> di neraka.
Maka
dengan berpedoman kepada imsakiyah berapa banyak orang yang dibid’ahkan dan
disesatkan? Silahkan hitung sendiri jumlah muslim yang hidup hari ini dan yang
sudah meninggal tapi dulu memakai imsakiyah serta muslim akan datang yang
mungkin juga memakai imsakiyah. Jikalau imsakiyah adalah bid`ah, maka semua
mereka adalah calon penghuni neraka.
Apakah
benar dengan berpedoman kepada imsakiyah seseorang bisa masuk neraka! Apakah
memang seperti itu hakikat ajaran agama kita atau pemahaman mereka saja yang
bermasalah?!
Mari
kita kupas hukum ber-imsak tersebut?
Imsakiyah
yang dimaksud adalah: selembaran kertas yang berisi jadwal waktu shalat, imsak (mulai
menahan untuk berpuasa) dan syuruq (waktu matahari terbit),
yang biasa dicetak di kalender, di buku, koran, dll. atau dicetak secara
terpisah.
Maksud
imsakiyah secara lebih khusus adalah: waktu mulai menahan sebelum terbitnya
fajar (masuknya waktu subuh), bagi orang yang berpuasa.
Hal
yang disepakati oleh ulama adalah:
1.
Setiap muslim wajib mulai menahan dari
segala yang membatalkan puasa sejak terbit fajarshadiq (saat masuknya waktu
shalat Subuh.
2.
Seorang muslim yang masih makan/minum saat
fajar shadiq telah terbit, maka puasanya tidak sah, tapi ia tetap wajib menahan
pada hari tersebut dan puasa di hari itu diganti (qadhai)
3.
Seorang muslim wajib menahan diri dari
segala yang membatalkan puasa dan menjauhkan dirinya dari sejak terbit fajar
sampai terbenam matahari. Dan ia boleh mengkonsumsi makanan sampai sebelum
terbit fajar, apabila:
a. Yakin
bahwa fajar belum masuk, atau
b. Dipastikan
dengan informasi dari orang yang bisa dipercaya (tsiqah) bahwa masih ada waktu
untuk boleh makan/minum, atau
c. Berpedoman
kepada ijtihad.
Jikalau ada yang makan
dan minum tanpa pertimbangan 3 hal diatas, kemudian terbukti bahwa ia makan dan
minum saat fajar TELAH terbit, maka puasanya
batal dan ia WAJIB mengganti (qadha`) puasa
hari itu. Sama halnya dengan saat berbuka puasa. Apabila sudah berbuka
sedangkan mereka tidak melalui 3 proses di atas, kemudian terbukti bahwa mereka
telah berbuka di saat matahari BELUM terbenam, maka puasa mereka batal dan mereka WAJIB mengganti (qadha`) di
hari lain.
4.
Rasul saw. dan para sahabat sudah berhenti
mengkonsumsi sesuatu pada saat sahur sekitar 10-15 menit sebelum terbitnya
fajar shadiq. Akan ada pembahasan tentang ini lebih rinci di bawah.
5.
Seorang yang mulai menahan sejak sebelum
terbit fajar, tidak berdosa dan tidak merusak kepada puasanya.
6.
Filosofi dasar dalam beribadah lebih
didominasi oleh prinsip ihtiyath (kehati-hatian) dalam melaksanakannya.
Realita yang tidak bisa
dipungkiri adalah:
- Tidak
semua umat mengetahui fajar shadiq dan fajar kadzib.
Dan tidak semua umat yang bisa membedakannya.
- Tidak
semua umat yang bisa melihat jam dan atau mendengar azan/isyarat sudah
mulai menahan dengan mudah. Bisa jadi karena mereka tinggal di pedalaman,
karena jauh dari masjid, karena tidak masuk listrik, dll..
Titik
perdebatan
Imsakiyah
ini tidak ada di zaman Rasul Saw. dan di zaman sahabat (salaf sholeh).
Apa
manfaat imsakiyah?
Imsakiyah
memang tidak ada di zaman Rasul Saw. dan sahabat, akan tetapi dari penjelasan
di atas dan realita yang kita temui serta pengalaman yang sudah dialami oleh
mayoritas kaum muslimin, imsakiyah sangat membantu, seperti:
1.
Membantu seorang muslim untuk mengetahui
waktu shalat, waktu imsak (ketika berpuasa), dan waktu syuruq (matahari
terbit)
2.
Membantu seorang muslim untuk mengukur
waktu yang mereka butuhkan untuk persiapan pelaksanaan sahur dan berbuka.
3.
Menghidari kesalahan dalam penetapan waktu
yang menyebabkan batalnya pelaksanaan ibadah mereka; puasa dan shalat.
4.
Lebih hati-hati untuk mengakhiri sahur dan
memulai berbuka puasa dll.
Perspektif
imsak menurut ilmu Falak
Waktu
imsak adalah waktu tertentu sebelum shubuh, saat kapan biasanya seseorang mulai
berpuasa. Mengenai waktu imsak ada yang berpendapat 15 menit, 10 menit, dan ada
yang menggunakan 18 menit dan 20 menit sebelum fajar shodiq yang merupakan awal
waktu shubuh dan juga awal berpuasa. Dalam hal ini para ahli astronomi
berbeda pendapat mengenai irtifa’ (ketinggian matahari) fajar
shadiq yang pada waktu itu dibawah ufuq (horizon) ada yang berpendapat
-18,-19,dan -20.
Fenomena
ini dalam astronomi disebut dengan Twilight, fenomena ini muncul
dibawah horizon sampai matahari terbit pada pagi hari atau setelah matahari
terbenam pada sore hari. Pada waktu itu cahaya kemerahan di langit sebelah
timur sebelum matahari terbit, yaitu saat matahari menuju terbit pada posisi
jarak zenith 108 derajad di bawah ufuq sebelah timur[7]. Dalam Explanatory
Supplemen to The Astronomical Almanac dijelaskan” this is caused by the
scattering of sunlight from upper layer of the earth atmosphere. It begins at
sunset (ends at sunrise) and is conventionally taken to end (or begin) when the
center of the sun reaches an altitude of -18”.
Fajar
sendiri dibagi menurut ahli astronomi dapat dibagi menjadi dua, yaitu
fajar waktu pagi dan fajar waktu senja hari, secara fiqhi fajar dibagi menjadi
dua juga yaitu fajar shodiq dan fajar kadzib, dalam hal ini K. Maisur
mengatakan sebagaimana dijelaskan oleh ulama bahasa arab dan ulama fiqh:
وهو المنتشر ضوؤه معترضا
ينواحى السماء. بخلاف الكاذب فإنه يطلع مستطيلا ثمّ يذهب ويعتقبه ظلمة.وذالك
قبل الصادق
Dalam
ranah fiqih fajar dapat dibagi dua macam yaitu fajar shadiq dan fajar
kadzib.
Fajar
kadzib adalah fenomena cahaya
kemerahan yang tampak dalam beberapa saat kemudian menghilang sebelum fajar
shadiq, dalam dunia ilmu astronomi sering disebut Twilight False atau Zodiacal
light, Fajar kadzib terjadi akibat hamburan cahaya matahari oleh debu-debu
antar planet di ekliptika.
Sedangkan fajar shadiq adalah fenomena astronomical
twilight yang muncul setelah fajar kadzib. Para Ahli Fiqih
memberi gambaran bahwa fenomena fajar shadiq ketika mega putih (biyadh)
dari horizon telah tampak dari arah timur, hal tersebut telah dijelaskan dalam
surat Al-Baqarah ayat 187 dimana waktu melakukan puasa adalah ketika terbitnya
fajar (fajar shadiq) sampai tenggelamnya matahari.
Penyelesaian
permasalahan yang menjadi perdebatan
Imsakiyah
ini memang tidak ada di zaman Rasul Saw. dan di zaman sahabat (salaf sholeh)
juga tidak ada dalil tekstual secara khusus ataupun secara umum. Akan tetapi
keberadaannya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat islam.
Justru keberadannya membawa maslahat yang besar bagi umat islam. Keberadannya
sangat membantu seorang muslim/ah untuk bisa menyempurnakan pelaksanaan ibadah
puasa mereka. Karena mereka tahu waktu dan sangat berhati-hati dalam menentukan
waktu menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa dengan memulai
menahan sebelum waktunya. Justru keberadaan imsakiyah ini dalam kondisi
tertentu bisa masuk ke dalam kaidah yang disebutkan oleh ulama ushul:
ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب
“Apapun
yang tidak sempurna pelaksanaan sebuah kewajiban kecuali dengannya, maka ianya
akan menjadi wajib juga”.
Aplikasi
kaidah di atas pada permasalahan adalah: Jikalau sempurnanya pelaksanaan imsak
tidak akan bisa tercapai kecuali dengan adanya imsakiyah, maka imsakiyah juga
akan menjadi wajib.
Sesuatu
yang tidak ada/tidak dilakukan di zaman Rasul atau generasi salaf, bukan
berarti haram/tidak boleh dilakukan oleh orang-orang setelah mereka. Apalagi
hal-hal yang dilakukan adalah sesuatu yang baik dan mendukung maslahat dalam
melaksanakan agama secara sempurna yang dihasilkan dari proses ijtihad. Dan
Hal-hal yang haram/tidak boleh dilakukan oleh generasi setelah Rasul Saw.
adalah apabila DILARANG oleh Rasul Saw., bukan hal-hal yang ditinggalkan/tidak
dilakukan. oleh karena itu ulama ushul mengatakan :
الترك لا يفيد التحريم
“Rasul
Saw. dan sahabat tidak melakukan sesuatu bukan berarti yang tidak dilakukan itu
adalah haram dilakukan.”
Oleh
karena itu imsakiyah bukanlah sebuah perkara bid`ah hanya dengan alasan
imsakiyah tidak ada di zaman Rasul Saw. dan sahabat. Dan imsakiyah juga tidak
bisa dikatakan bertentangan dengan sunnah Rasul Saw. karena memang tidak ada
larangan terhadap imsakiyah baik secara umum maupun secara khusus.
Jikalau
mereka menyatakan imsakiyah ini bid`ah karena tidak ada dalil khusus yang
memerintahkan atau membolehkan, maka kita akan juga tagih kepada mereka mana
dalil yang melarangnya dengan dalil khusus?! Apakah ada larangan di dalam Al
Qur`an dan sunnah terhadap imsakiyah secara khsusus?! Jawabannya pasti
tidak!
Perlu
diketahui bahwa perbuatan kaum muslimin akan terus berkembang dan akan sangat
bervariatif dari masa ke masa, akan sangat beragam dari satu tempat
dibandingkan dengan tempat lainnya. Perbuatan yang sudah umum terjadi di zaman
Rasul Saw. belum tentu terjadi di zaman-zaman selanjutnya. Sebaliknya,
perbuatan yang belum ada di zaman Nabi Saw. boleh jadi baru ada pada
zaman-zaman selanjutnya. Untuk menyikapi bervariatif dan terus berkembanganya
perbuatan seorang muslim/ah dari satu waktu ke waktu, dari satu tempat ke
tempat lain, syariat kita menjelaskan tuntutan syar`i secara garis besar/ umum,
agar bisa dijadikan patokan oleh para ulama untuk menemukan hukum permasalahan-permasalahan
yang terjadi kapanpun melalui piranti ijtihad. Oleh karena itu tidak semua
permasalahan yang dijelaskan secara khusus oleh dalil al Qur`an dan sunnah.
Jikalau
setiap permasalahan dituntut harus dijelaskan dengan dalil-dalik khusus, apa gunanya
dalil-dalil umum yang ada di dalam al Qur`an dan sunnah? Apakah mereka hanya
akan menerima dalil-dalil-dalil khusus saja, sementara dalil-dalil umum
ditolak?! Bukankah perbuatan mereka ini sama dengan Bani Israil seprti yang
diceritakan oleh QS: Al Baqarah: 85:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ
وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا
خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ
الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Apakah
kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian
yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu,
melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka
dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang
kamu perbuat.
Kenapa
ada Imsakiyah dan perspektif syariat dalam menghukumi imsakiyah?
Mari
kita lihat dasar adanya imsakiyah dan pendapat para ulama hadits tentang
imsakiyah ini:
Sebenarnya
ketetapan waktu imsak sebagai ihtiyath (kehati-hatian) itu
punya dasarnya. Habib Hasan bin Ahmad bin Saalim al-Kaaf menyebut dalam
“at-Taqriiraat as-Sadiidah fil Masaa-ilil Mufiidah” yang merupakan kumpulan
dari ringkasan ajaran guru-guru beliau terutama sekali al-’Allaamah al-Faqih
al-Muhaqqiq al-Habib Zain bin Ibrahim bin Zain Bin Smith, pada halaman 444
menyatakan :
…”Dan
memuai imsak (menahan diri) dari makan dan minum (yakni bersahur) itu adalah
mandub (disunnatkan) sebelum fajar, kira-kira sepadan dengan waktu yang
dibutuhkan untuk membaca 50 ayat (sekitar seperempat jam)”.
Diriwayatkan
oleh Imam al-Bukhari, berbunyi:-
روى البخاري عَنْ أَنَسٍ عَنْ زَيْدِ
بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ
الأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً .
Dari
Sayyidina Anas meriwayatkan bahwa Sayyidina Zaid bin Tsabit r.a. berkata: “Kami
telah makan sahur bersama-sama Junjungan Nabi Saw., kemudian baginda bangun
mengerjakan shalat. Sayyidina Anas bertanya kepada Sayyidina Zaid:- “Berapa
lamanya antara azan (Subuh) dengan waktu makan sahur itu ?” Dia menjawab:
“sepadan dengan waktu yang dibutuhkan untuk membaca 50 ayat.”
Hadis
ini menunjukkan bahwa jarak atau interval waktu antara bersahurnya Rasul Saw.
dan azan Subuh adalah kira-kira 50 ayat. Itu artinya Rasul Saw. tidak lagi
makan sahur sampai berkumandangnya azan Subuh. Pada redaksional hadits
disebutkan secara jelas bahwa Rasul Saw. bersahur dan berhenti kira-kira waktu
yang dibutuhkan untuk membaca 50 ayat al Qur`an sebelum masuk waktu Subuh.
Inilah yang dipahami oleh para ulama kita, sehingga menetapkan sunnah berimsak
sekitar waktu yang dibutuhkan untuk pembaca 50 ayat Al Qur`an tersebut yang
diperkirakan setara dengan 10 – 15 menit.
Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani di dalam kitab “Fathul Baari”
tatkala mensyarah maksud hadits di atas antara lain menyatakan:-
“Dan
Imam al-Qurthubi berkomentar:
“Padanya
(yakni dalam kandungan hadits di atas) terdapat dalil bahwasanya berhenti dari
sahur adalah sebelum terbitnya fajar….”
Jadi
jelas dinyatakan oleh Imam al-Qurthubi bahwa berhenti sahur Rasulullah Saw.
menurut hadits di atas adalah sebelum terbitnya fajar (qabla thulu`il
fajri), yang mengisyaratkan bahwa tidaklah Rasulullah Saw. masih
mengkonsumsi sahur sampai terbit fajar.
Selanjutnya Imam Ibnu Hajar
al-’Asqalani juga
menyatakan bahwa:-
“Maka
disamakan oleh Zaid bin Tsabit waktu yang demikian itu dengan ukuran pembacaan
al-Quran sebagai isyarat bahwa waktu tersebut (yakni waktu senggang antara
selesai sahur dan azan) adalah waktu untuk ibadah membaca al-Quran.”
Jadi
bukanlah waktu itu untuk mengunyah makanan lagi, inilah yang dimaksudkan!
Al-’Allaamah Badruddin al-’Ayni di dalam kitab “‘Umdatul Qari” yang juga
merupkan syarah Sahih Bukhari menyatakan:-
“Hadits
Zaid bin Tsabit menunjukkan bahwasanya selesai daripada sahur adalah
sebelum fajar dengan kadar pembacaan 50 ayat.”
Beliau
juga menulis:-
“Bahwasanya
padanya (yakni pada hadits Zaid tersebut) mengakhirkan sahur sehingga tinggal
waktu antara azan dan makan sahur itu kadar pembacaan 50 ayat… maka dari situ
ianya menunjukkan bahwasanya mereka (Nabi Saw. dan sahabat) menyegerakan
bersahur dan berhenti sehingga tinggal (waktu) antara mereka dan fajar sekitar
selama waktu yang dibutuhkan tersebut.”
Artinya
Rasul Saw. dan sahabat berhenti bersahur sebelum terbit fajar sekitar selama
waktu yang dibutuhkan untuk membacaan 50 ayat dan mereka tidaklah mengundurkan sahur
sehingga terbitnya fajar shadiq.
Imam an-Nawawi di
dalam kitab “Syarah Muslim” tatkala mensyarahkan hadits yang diriwayatkan Imam
Muslim dari Abu Bakar bin Abu Syaibah yang kandungannya hampir sama dengan
hadits Imam al-Bukhari di atas dengan perbedaannya bahwa dalam lafaz al-Bukhari
dinyatakan “berapa kadar waktu antara azan dan sahur” dan
dalam hadits Muslim juga digunakan “berapa kadar waktu antara
keduanya”, menyatakan:-
“…
padanya (yakni dalam hadits tersebut) terkandung anjuran untuk mengakhirkan
sahur beberapa saat sebelum terbit fajar”, ( yakni kita dianjurkan untuk
mengakhirkan makan sahur beberapa saat sebelum terbitnya fajar shadiq.
Perhatikanlah,
dengan berdasarkan pemahaman terhadap hadits di atas yang berasal dari
perbuatan Rasul Saw. ulama berpendapat bahwa adanya waktu imsak yang menjadi
sunnah untuk menyelesaikan makan sahur (yakni bagi yang telah bersahur) sebelum
fajar shadiq terbit.
Ijtihad ulama mazhab Syafi`i seperti yang disebutkan oleh Al-’Allaamah
Sayyid ‘Abdullah al-Jurdani di dalam kitab “Fathul ‘Allam bi syarhi
Mursyidil Anaam” volume 4 halaman 59 menyebutkan:-
“Telah
berkata Imam ar-Ramli seperti (kata) Imam Ibnu Hajar setelah kedua orang itu
menyebutkan hadits Zaid bin Tsabit tersebut: “
Dan
padanya (yakni terkandung dalam hadits tersebut) dalil bahwa sunnah untuk
mengakhirkan sahur. Yaitu yang afdhalnya adalah diakhirkannya sahur tersebut
sehingga berhenti darinya (selesai dari bersahur) dan malam masih tersisa
(masih belum terbit fajar shodiq) selama waktu yang dibutuhkan untuk
(pembacaan) 50 ayat.
Pendapat Habib Umar bin Hafidz,
Pertanyaan:
Banyak
orang yg makan sampai waktu adzan tiba, yaitu ia tidak berimsak kecuali tatkala
mendengar adzan. Apakah hal ini diperbolehkan atau dia wajib berimsak
sebelumnya?
Jawaban:
Tidak
diragukan lagi bahwa ber-imsak itu lebih afdhal. Selama belum terbitnya fajar
diperbolehkan baginya untuk makan apa yang dikehendakinya. Akan tetapi
berhati-hati dengan imsak sebelum azan dengan (untuk menjaga) satu jangka masa
adalah baik. Apabila seseorang sampai fajar telah terbit lalu dia makan dan
minum, kemudian ternyata perbuatannya itu (yakni makan/minumnya tadi) terjadi
setelah terbit fajar, maka berdosalah dia dan wajib atasnya untuk berpuasa
sehari sebagai ganti puasanya hari tersebut (yakni apabila nyata bahwa dia
telah makan dan minum setelah fajar terbit, maka dia berdosa dan wajib qadha).
Oleh
karena itu, maka berhati-hati itu lebih utama dan yang sedemikian itu telah
diambil oleh para ulama berdasarkan yang disebutkan di dalam hadits yang mulia:
“Berapa
masa antara sahur s.a.w. dan sholat ? Dijawabnya : Sekadar 50 ayat. 50 ayat
dikadarkan dengan seperempat jam atau sepertiga, atas sekurang-kurangnya. Oleh
karena itu, imsak sebelum fajar dengan seperempat jam atau sepertiga jam adalah
awla dan ahwath (terlebih utama dan terlebih berhati-hati).
Oleh
karena Ihtiyath (berhati-hati) yang bisa dilakukan oleh seorang muslim dalam
masalah imsak itu sangat luas dan ia bisa dipersempit oleh seseorang itu atas
dirinya menurut kehendaknya, seperti dilaksanakannya puasa untuk satu hari
secara sempurna itu dengan dimulai menahan pada hari itu sebelum habis waktu
boleh makan dan minum tersebut (yakni sebelum tiba fajar hari tersebut)
sekitar 10 atau 15 menit (sebagai ihtiyath bagi dirinya untuk mendapatkan
kesempurnaan puasa satu hari tersebut). Karena menyeret dirinya dalam
keraguan untuk penentuan yang sedemikian adalah satu keburukan dalam
berhubungan dengan Allah al-Jabbar Swt.. Bahkan semestinya dia berihtiyath
sebelum fajar, maka berimsaklah dia sebelum fajar. Dan pada Maghrib, sedemikian
juga dia berihtiyath (berhati-hati) untuk tidak berbuka sehingga diyakini
terbenamnya matahari. Wa billahit tawfiq.
KESIMPULAN
1.
Imsakiyah bukanlah
sebuah perkara bid`ah hanya dengan alasan imsakiyah tidak ada di zaman Rasul
Saw., karena sesuatu yang tidak ada/tidak dilakukan di zaman Rasul atau
generasi salaf, bukan berarti haram/tidak boleh dilakukan oleh orang-orang
setelah mereka. Apalagi hal-hal yang dilakukan adalah sesuatu yang baik dan
mendukung maslahat dalam melaksanakan agama secara sempurna yang dihasilkan
dari proses ijtihad. Dan Hal-hal yang haram/tidak boleh dilakukan oleh generasi
setelah Rasul Saw. adalah apabila DILARANG oleh Rasul Saw., bukan hal-hal yang
ditinggalkan/tidak dilakukan.
2.
Imsakiyah sangat
membantu seorang yang berpuasa untuk bisa berpuasa dengan sempurna dari segi
penentuan waktu dan terhindari dari batal/rusaknya puasa yang dilakukannya.
Oleh karena itu ulama justru menghukumi sunnah untuk berhenti
mengkonsumsi/melakukan hal-hal yang membatalkan puasa beberapa saat sebelum
terbit fajar (masuknya waktu subuh). Dan inilah yang kita kenal saat ini dengan
istilah imsak.
Demikianlah
pemaparan singkat mengenai imsakiyah Ramadhan (imsak sebelum terbit fajar
shadiq). Semoga bermanfaat dan kaum muslimin tidak terpengaruh dengan fitnah
yang timbul. Amiin.
Wallahu
a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar